duka derita menapak disisi kita
mengikuti tiap langkah angan nan ceria
sementara kecewa, keberhasilan adalah sisi lain yang hrs kita lalui dengan bijak,
jika tidak, kita akan tersungkur diantaranya

Selasa, 08 Juli 2008

Mengenang Putri Sejati

‘’ ... Ibu kita Kartini putri sejati ... ‘’

Bait lagu, yang akhir - akhir ini semakin jarang sekali kita dengarkan.
Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini, lahir di Jepara, 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, pada 17 September 1904, adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan Indonesia.

RA. Kartini tidak dapat diartikan lain kecuali sesuai dengan apa yang tersirat dalam kumpulan suratnya : “Door Duisternis Tot Licht”, yang diartikan oleh Armijn Pane sebagai, "Habis Gelap Terbitlah Terang". Sedangkan Prof. Dr. Haryati Soebadio, mantan Dirjen Kebudayaan, yang adalah cucu RA Kartini mengartikannya sebagai "Dari gelap menuju cahaya", yang kalau kita lihat dalam Al Qur'an akan tertulis sebagai, "Minadz Dzulumaati Ilaan Nuur".
Ini merupakan inti ajaran Islam yang membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya (iman).

Surat Kartini Kepada Stella, 18 Agustus 1899

"Sesungguhnya adat sopan santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak, bila hendak berlalu di hadapanku. kalau adikku duduk dikursi, saat aku lalu, haruslah ia turun duduk di tanah dengan menundukkan kepala sampai aku tak terlihat lagi. Mereka hanya boleh menegurku dengan bahasa kromo inggil. Tiap kalimat haruslah diakhiri dengan "sembah".

Berdiri bulu kuduk, bila kita berada dalam lingkungan keluarga Bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang lain yang lebih tinggi derajatnya haruslah perlahan-lahan, jalannya melangkah pendek-pendek, gerakannya lambat-lambat seperti siput. Bila berjalan cepat dicaci orang, disebut sebagai kuda liar. Peduli apa aku dengan segala tata cara itu. Segala peraturan itu buatan manusia dan menyiksa diriku saja. Kamu tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket keningratan di dunia Jawa itu.

Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini dan Kardinah) tidak ada tatacara itu lagi. Perasaan kami sendirilah yang akan menunjukkan atau menentukan sampai batas mana cara itu boleh dijalankan.

Bagi saya hanya ada dua macam keningratan, keningratan pikiran, dan keningratan budi . Tidak ada manusia yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal sholeh orang yang bergelar macam Graaf atau Baron..? Tidaklah dapat dimengerti oleh pikiranku yang picik ini".

Kartini sebagai Muslimah

Kartini memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan semasa belajar mengaji. Ibu guru mengajinya memarahi dia dan menyuruhnya keluar karena Kartini menanyakan makna ayat Al Qur'an yang dibacanya tadi.

Suratnya kepada Stella tertanggal 6 November 1899 dan surat kepada Abendanon tertanggal 15 Agustus 1902 :

"Mengenai agama Islam, Stella, aku harus menceritakan apa?. Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya degan umat agama lain. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku kalau aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya.

Al Qur'an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Di sini tidak ada yang mengerti bahasa Arab. Orang-orang disini belajar membaca Al Qur'an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Sama saja halnya seperti engkau mengajar aku membaca buku berbahasa Inggris, aku harus menghafal kata demi kata, tetapi tidak satupun kata yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati, bukankah begitu Stella?.

"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang aku tidak mengerti sedikitpun. Aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang aku tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al Qur'an, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan bahasa asing yang aku tidak mengerti apa artinya, dan jangan-jangan ustadz-ustadzahku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti artinya."

Sampai pada suatu ketika Kartini berkunjung ke rumah Pamannya, seorang Bupati Demak. Saat itu sedang berlangsung pengajian bulan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian bersama Raden Ayu yang lain dari balik Khitab (tabir). Kartini tertarik kepada materi yang sedang diberikan, tafsir Al Fatihah, oleh Kyai Saleh Darat, ulama besar yang sering memberikan pengajian di beberapa kabupaten di sepanjang pesisir utara. Setelah selesai pengajian, Kartini mendesak Pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kyai Saleh Darat.

“Kyai perkenankan saya menanyakan sesuatu, bagaimanakah hukumnya apabila seseorang yang berilmu namun menyembunyikan ilmunya?”

Tertegun sang Kyai mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis. Kyai Saleh Darat paham betul akan maksud pertanyaan yang diajukan Kartini. (Dialog ini dicatat Ny. Fadillah, yakni cucu Kyai Saleh Darat)

Singkat cerita tergugahlah sang Kyai untuk menterjemahkan Al Qur'an ke dalam bahasa Jawa. Dan ketika hari pernikahan Kartini tiba, Kyai Saleh Darat memberikan kepadanya terjemahan Al Qur'an juz pertama. Mulailah Kartini mempelajari Al Qur'an. Tapi sayang sebelum terjemahan itu rampung, Kyai Saleh Darat berpulang ke Rahmatullah.

Dalam surat Al Baqarah Ayat 257, Kartini menemukaan kata-kata yang amat menyentuh nuraninya :

"Orang-orang yang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya (minadz dzulumaati ilaan nuur)".

Kartini amat terkesan dengan ayat ini, karena ia merasakan sendiri proses perubahan dirinya, dari pemikiran jahiliyah kepada pemikiran terbimbing oleh Nuur Ilahi. Dan sebelum wafatnya Kartini, dalam banyak suratnya mengulang kata-kata "dari gelap menuju cahaya", yang ditulis dalam bahasa Belanda sebagai "door duisternis toot licht".

Yang kemudian dijadikan kumpulan surat Kartini oleh Abendanon yang sama sekali tidak mengetahui bahwa kata-kata itu dikutip dari Al Qur'an. Ditambah lagi diterjemahkan sebagai "habis gelap terbitlah terang" oleh Armijn Pane.

Setelah mengikuti pengajian tsb terjadilah perubahan besar dalam diri Kartini. Kini ia mulai memahami Islam. Simaklah beberapa suratnya yang lain :

"Sudah lewat masanya, tadinya saya mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik tiada taranya, maafkan kami, tetapi apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna?.
Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat Ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut dinamakan peradaban?"
(surat kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902)

"Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka Kristenisasi... bagi orang Islam, melepaskan kepercayaannya sendiri dan memeluk agama lain merupakan dosa yang sebesar-besarnya... pendek kata, boleh melakukan zending, tetapi janganlah meng-kristen-kan orang lain. Mungkinkah itu dilakukan?" (kepada E.C Abendanon, 31 january 1903)

Memang kumpulan surat-surat Kartini bukanlah kitab suci. Tapi kalau kita telaah kembali maka akan nampaklah apa cita-citanya yang luhur.

Aku Mau ...

Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode 1899-1903 diterbitkan untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya memperlihatkan wajah lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr Joost Coté, diterjemahkan dengan judul Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903.
"Aku Mau ..." adalah moto Kartini. Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan bahan perbincangan. Kartini berbicara tentang banyak hal: sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.

Penghargaan Pemerintah Belanda

Kartini di Belanda dijunjung tinggi sebagai pejuang emansipasi di Hindia-Belanda dulu sampai sekarang. Pemda Den Haag di tahun 2007 ini secara spesial menyediakan trophy Kartini untuk perorangan/organisasi di Den Haag yang berjuang dalam bidang emansipasi ala Kartini dulu. Kartini-Trophy tahun 2007 ini diberikan kepada wanita Maroko bernama Rahma El Hamdaoui yang berjuang membela emansipasi di sebuah kampung bernama Schilderswijk di Den Haag. o--

Tidak ada komentar: